PROFIL
Berau yang memiliki wilayah seluas 24.201 kilometer persegi dengan ibu kota Tanjung Redeb dan bisa dijangkau dari ibu kota Provinsi Kalimantan Timur Samarinda dengan jalan darat dalam waktu sekitar 12 jam ini, juga punya wisata kota yang cukup lengkap. Para penggemar peninggalan bersejarah dapat menyusuri masa lalu kota dan kabupaten Berau dengan mengunjungi Keraton dan Museum Sambaliung yang menyimpan jejak-jejak bersejarah peninggalan kerajaan Sambaliung dengan rajanya yang terakhir Sultan M. Aminuddin (1902-1959).
Tempat ini memiliki koleksi unik yang ada di halaman depan berupa dua tiang kayu ulin berukir aksara asli Suku Bugis yang dipercaya adalah merupakan peninggalan dari pengikut Raja Alam yang berasal dari turunan Bugis Wajo. Menurut penjaga museum, aksara itu berupa aturan-aturan jika rakyat melintasi keraton.
Berhadapan dengan Keraton Sambaliung, dibelah oleh Sungai Berau, membujur Keraton Gunung Tabur. Tempat yang bisa dijangkau dalam waktu sekitar 20 menit melalui jembatan Segah atau tiga menit jika memilih naik ketinting ini, dikenal sebagai menjadi Museum Batiwakkal. Di sini tersimpan sekitar 700 koleksi berharga berupa benda sejarah, keramik, benda arkeologis, etnografis, dan naskah.
Museum ini dibangun pada 1990 dan diresmikan pada 1992. Para pengunjung juga dapat melihat kediaman Putri Keraton Gunung Tabur.
Bagi yang ingin menyaksikan perkampungan suku asli Kabupaten Berau, yaitu Suku Banua yang berada di desa Bangun dan Bebanir, silakan berkunjung ke tempat yang berjarak sekitar 10 kilometer dari ibu kota kabupaten.
Dengan menggunakan kendaraan darat waktu tempuhnya sekitar 15 menit. Kalau mau lebih asyik lagi, lebih baik menggunakan ketinting, karena kita akan dibimbing melalui Sungai Berau dan Sungai Bangun.
Nah, kampung suku Banua itu berada di Sungai Bangun. Di tempat ini, kita bisa menyaksikan dan kalau mau menikmati kehidupan ala suku Banua yang masih bersahaja.
Asal Usul Penduduk Barrau
Menurut J. Skrom Kontler Berau, dalam Memorie Overgave en Overname 31 Juli 1940, asal Barrau itu adalah sebagai berikut :
“Penduduk asli Berau dahulu disebut orang Banuwa. Mereka berasal dari keturunan bangsa Melayu yang membuat koloni atau pemukiman beberapa abad lampau. Tidak dapat dipungkiri bahwa dahulu Berau dibawah pengaruh Majapahit".
DR. Ahmad Ramli sangat tertarik tentang masalah ini mencoba dengan metode bleodgroepbepaling (ketentuan golongan darah). Melalaui cara ini, ia berhasil dan membuat kesimpulan bahwa urang Barrau adalah berasal dari Deutro Melayu-Sumatera (Melayu – Muda – Sumatera).
Memperhatikan bahasa lisan, dalam percakapannya terdapat kata-kata bahasa suku lain, akan tetapi pada umumnya bahasa Barrau itu persamaannya dengan bahasa melayu.
Walaupun pada beberapa tempat, terjadi percampuran darah dengan orang Bugis, Solok, Basap dan lain-lain, tetapi orang Barrau masih tetap mempertahankan identitas (jati dirinya), terutama raja-raja dan para bangsawan yang asli keturunan Malayu.
Pada abad ke 7 sampai abad ke XIV kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya. Perdagangan antara Timur – Tengah dengan Negeri Cina melalui Sriwijaya. Pedagang-pedagang Arab, Parsi, India dan Cina, menjadikan Selat Malaka, Pantai Timur Sumatera, Pantai Barat, dan Pantai Timur-Utara Kalimantan sebagai jalur pelayarannya. Banyak bandar-bandar dan kota-kota kecil di pantai Timur Sumatera di pesisir pulau Kalimantan menjadi besar serta kehidupan rakyatnya bertambah makmur.
Cikal-bakal Kerajaan Berau (Barrau)
Diperkirakan perpindahan Deutro-Melayu-Sumatera itu, pada zaman kerajaan Sriwijaya. Mereka membangun pemukiman baru di daerah Sukadana, Sambas, Berunai, dan Berau berbaur dengan Deutro-Melayu-Kalimantan.
Untuk menjadi lampiran memorie-nya J.S. Krom, meminta bantuan Sultan Sambaliung dan Sutan Gunung Tabur menyusun sejarah Berau. Sebagai pelaksananya dibentuk Tim Penulis terdiri Klerk Lauw. Aji Berni Masuarno juru tulis kelas 1 Datu Ullang putera dari Sultan Amiruddin Sambaliung, Aji Raden Ayub putera dari Sultan H. Siranuddi Gunung Tabur dibantu beberapa magang seperti Abdul Wahab, Adam, Khirul Arip.
Berdasarkan data-data otentik yang dapat dihimpun dari kedua kerajaan itu serta naskah-naskah tradisional milik perorangan, berhasil disusun sejarah Berau.
Ringkasannya sebagai berikut :
Adapun asal mula Nagri Barrau itu terdiri dari lima Banuwa (Nagri) dan dua kampung yaitu :
Pertama : Nagri Marancang.
Kepala Nagri atau Orang tuanya bernama Rangga Si Kannik Saludai. Pengarappan atau Punggawanya Bernama Harimau Jantan, Lambu Tunggal dan Kuda Sambarani. Wilayah kekuasaannya dari Bulalung Karantigau, Kubuan Pindda, Mangkapadi, Bulungan Selimbatu, Sekatak Buji, Sekata Jelanjang, Betayu, Sesayap, Simangarris, Tawau, Segarung, Talluk Silam dan Kinabatangan berbatasan dengan Brunei.
Kedua : Nagri Kuran kepalanya bernama Tumanggung Macan Nagara.
Ketiga : Nagri Bulalung,
Orang tuanya bernama Angka Yuda, ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Si Kuripan.
Keempat : Nagri Sawakung di dalam sungai Kelay.
Orang Tuanya bernama Si Patungut gelar Kahar Janggi dan Wakilnya Si Balamman gelar Kahar Pahlawan. Wilayahnya Passut, Bandang dan Maras sampai ke Ulu Kelay.
Kelima : Nagri Pantai.
Kepala Nagrinya bernama Rangga Batara. Ia mempunyai seorang puteri yang termasyhur kecerdikannya bernama Si Kannik Barrau Sanipah. Punggawanya Rantai Tumiang, Unjit – Unjit Raja, Panas Karamian dan Ujan Bawari. Wilayah kekuasaannya Buyung-buyung, Semurut, Tabalar, Karang Bassar, Balikkukup, Mataha, Kaniiungan, Talisatan, Dumaring, Batu Putih, Tallauk Sumbang dan Maubar. Perbatasannya dengan Kutai di laut ialah pulau Bira-Biraan Batu Baukir di Tanjung Mangkalihat dan Gunung Bariun di tengah hutan.
Keenam : Kampung Bunyut Letaknya di Tanjung Batu, Kepalanya Bernama Jaya Pati, mempunyai seorang anak angkat bernama Dayang Bunyut anak Raja Mangindanao.
Ketujuh : Kampung Lati, tempatnya cabang kiri masuk sungai Ulak. Kepalanya Bernama Nini Barituk. Tempat Mereka berkebun di Rantau Petung, sebelah kanan sungai Ulak. Wilayahnya dari Parisau, Sata, Samburakat, Birang, Malinau dan Si Agung.
Ketujuh wilayah itu, masing-masing berdiri sendiri.
Berau Menjadi Kerajaan
Raja Berau yang pertama ialah Aji Raden Soela Nata Kasoema dan permaisurinya bergelar Aji Poetari Paramaisoeri. Menurut cerita Mitos kelahiran raja laki isteri berbeda dengan kelahiran bayi manusia biasa.
" Tiga hari berturut-turut anjing Nini Barituk Si Baruang yang bebulu hitam dan Si Langsat yang berbulu merah, menyalak-nyalak dekat rumpun Pattung (sejenis bambu besar) dekat kebunnya di Rantau Pattung di Sungai Ulak. Didekatinya rumpun Pattung itu, dilihatnya disalak anjingnya itu, ialah sebuah rubung pattung yang besar. Dipotongnya rebung itu, lalu dikeratnya ujungnya. Kedengaran tangis seorang bayi laki-laki yang baik parasnya. Di rumah isteri Nini Barituk mendapat pula seorang bayi perempuan yang cantik, di dalam gantang panjahitannya yang berisi kurindan (benang penjahit dari serat nenas).
Peristiwa Nini Barituk mendapat kedua bayi ajaib itu, tersiar ketujuh nagri itu.
Si Kannik Barrau Sanipah dari Pantai,
Si Kannik Salundai di Marancang dan
Si Dayang Bunyut di Kampung Bunyut,
segera ke Kampung Lati ke rumah Nini Barituk. Ketiga puteri itu, sangat bergembira melihat kedua bayi yang elok parasnya dan damai
anak laki-laki Baddit Dipatung,
anak yang perempuan dinamainya Baddit Dikurindan.
Kerajaan Bersatu Ke dalam Kerajaan Majapahit
Berdasarkan data pada atlas Sejarah oleh Prof. Mr. Muhammad Yamin, Nusantara, Tanah Air Bangsa Indonesia, menurut Para Panca 1365, seluruh Pulau Kalimantan termasuk Berau, Pulau-pulau Solor (Sulu), Mindanao-Selatan adalah masih bersatu dengan Majapahit.
Pada halaman 17 dari peta tersebut Berau dinamai BERAYU wilayahnya mulai Tanjung Mangkalihat, Bulungan, Tidung dan Sabah. Luas wilayah kekuasaan kerajaan Berau ini diakui pula oleh ilmuan Belanda H. J. Grizen seperti berikut :
“Pada zaman dahulu beberapa Kepala Pemerintahan di daerah Kalimantan Utara Berasal dari Berau sebelum Berau terpecah menjadi dua kerajaan, Bulungan dan Tidung termasuk wilayahnya. Bahkan kerajaan Alas dan Tungku yang sekarang diduduki Inggris, termasuk kawasan Berau.
Dengan diilhami oleh “SUMPAH PALAPA” yang dicetuskan Mahapatih Gajah Mada (1319-1964) pada tahun 1334 yang isinya akan mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di seluruh Nusantara dibawah bimbingan Majapahit,
Aji Surya Nata Kesuma Raja Berau pertama, berhasil menerapkan sumpah itu, mempersatukan tujuh wilayah yang terbentang dari Tanjung Mangkalihat sampai sungai Kinabatangan berbatasan dengan kerajaan Berunai.
Sumpah PALAPA itu berbunyi : “Namun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, namun huwus kalah ring Gurun ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik Samana ingsun amukti palapa”. (Jika telah berhasil mempersatukan Nusantara, saya akan baru beristirahat jika gurun, “Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik telah bersatu, baru aku akan beristirahat”).
Menilai dan menghargai perjuangan seperti yang dikemukakan diatas, serat meneliti hasil Tim Pencari Fakta yang terdiri dari
- Mayor Armyn,
- Kapten Syahranuddin,
- Drs. Syahrial Hanan,
- Mohd. Noor,
- ARS, Kodam IX Mulawarman,
berkenan mengabadikannya menjadi KOREM 091/Aji Surya Nata Kesuma yang pertama kali bermarkas di Tarakan pada tahun 1981, sekarang bermarkas di Samarinda. Kebenaran sejarah bahwa Raja Pertama di Kerajaan Berau, adalah Aji Surya Nata Kesuma, diakui pula oleh Pemerintah Propinsi Daerah Kalimantan Timur dalam buku “ Sejarah Pemerintah Di Kalimantan Timur Dari Masa Ke Masa” halaman 91, tahun 1990.
Pada abad ke XIV sampai abad ke XV DR. J. Eisenberger menulis sebagai berikut :
“Pada beberapa tempat di Kalimantan mengalami kembali pengaruh Hindu, dalam periode ini bercampur dengan Kebudayaan Jawa, berhubung pengaruh tersebut datangnya dari Kerajaan Majapahit. Pada pertengahan abad ke XIV (1365) daerah yang bersatu dengan kerajaan Majapahit yaitu kerajaan kota Waringin, Sampit Kapuas, Banjarmasin (Ibu kotanya Tanjung Pura di Sungai Pawan). Hulu Sungai Mayan di Kalimantan Barat, ditengah-tengah Sukadana, Muara Barito, Tabalong di Amuntai, pulau Sebulu, Pulau Laut, Pasi, Kutai dan Berau.
Daerah taklukan ini, dalam catur wulan pertama abad ke XV lepas dari kekuasaan kerajaan Majapahit.
Daerah Berau yang dipimpin oleh Aji Surya Nata Kesuma kembali sepenuhnya memerintah kerajaan, lepas dari kerajaan Majapahit. Keutuhan wilayah dapat dipelihara dan dipertahankan oleh turunannya sampai generasi yang kesembilan yaitu Raja Aji Dilayas.
Pada permulaan abad ke XVII, kerajaan Berau, diperintah oleh raja-raja secara bergiliran,
Turunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati Putera Raja Aji Dilayas yang berlainan ibu. Pada saat menentukan giliran pengangkatan penguasa inilah, terjadi perbedaan pendapat yang tidak jarang menimbulkan insiden.
Akan tetapi dengan berkat kemauan yang baik dengan jalan musyawarah perselisihan itu dapat diatasi. Tidak ada cerita lisan ataupun tertulis, salah satu pihak meminta bantuan, apalagi intervensi pihak asing untuk menyelesaikan masalah mereka, seperti yang ditulis oleh penulis Barat antara lain Informasi Forster tahun 1770 di dalam buku “Aanteekeningen Omtrent Een Gedeeite Der Oestkust van Borneo door J. Hagemen Joz 1888 halaman 101.
Hubungan dengan Kerajaan Tetangga
Sultan Hasanuddin putera pangeran Tua kawin dengan Puteri Raja Sulu (Solok) yang bernama Dayang Lana yang melahirkan 5 orang putera dan 4 orang puteri pulang ke Solok, hanya seorang tinggal di Berau yaitu Sultan Amiril Mukminin. Cucunya perempuan kawin dengan bangsawan Solok Syarif Dakula.
Demikian pula turunan Pangeran Dipati, cucunya Sultan Zainal Abidin (Marhum Muara Bangun) kawin dengan Aji Galuh Besar cucu dari Raja Kutai Anum Panji Mendapa Ing Martapura (1710 – 1735).
Hubungan dengan VOC (Kompeni Hindia Timur)
Pada tahun 1671 kompeni pernah mengirimkan pedagang senior Paulus de Beck de Beck dengan Chialloup de Noorman ke Kutai dan ke Berau untuk berusaha mengadakan dagang, tetapi tidak berhasil.
Sejak didirikannya VOC (1602 – 1799) tidak berhasil menduduki Berau dan para raja-raja kerajaan Berau tidak pernah mengadakan politik kontrak, mengakui dibawah kedaulatan VOC.
Sejak berdirinya kerajaan Berau yang diperkirakan hilangnya kekuasaan Sriwijaya tahun 1377, baik de facto atau de jure tidak pernah mengakui kedaulatan kolonial Belanda atau Inggris sampai tahun 1833.
Sejak berdirinya kerajaan Berau yang diperkirakan hilangnya kekuasaan Sriwijaya tahun 1377, baik de facto atau de jure tidak pernah mengakui kedaulatan kolonial Belanda atau Inggris sampai tahun 1833.
SILSILAH KERAJAAN BERAU / PENJELASAN
1. Berdasarkan data – data otentik dari :
• Sejarah Berau disusun oleh Kontler J.S. Krom, Sultan Sambaliung Muhammad Aminuddin, Sultan Gunung Tabur Achmad Maulana.
• Tim Penulis : Klerk Lauw, Aji Berni Massuarno, Datu Ulang, Aji Raden Ayub dibantu oleh Abdulwahab, Alluh Bachrun, Adam, Chairul Arif, tahun 1939 / 1940.
• Sejarah Berau, milik Museum Mulawarman Tenggarong.
• Hasil Penelitian Tim Pencari Fakta dari Kodam IX Mulawarman 1980 terdiri dari : Mayor Armyn, Kapten Syahranuddin, Drs. Syahrial Hanan, Mohd. Noor. ERS.
• Sejarah Pemerintah di Kalimantan Timur dari Masa ke Masa oleh Pemda Tk. I KALTIM tahun 1990.
2. Silsilah Raja – Raja Berau, Ketika Kerukunan Dan Keutuhan Wilayah Masih Terpelihara Dengan Baik
• Raja Berau pertama Baddit Dipattung gelar Aji Surya Nata Kesuma Isterinya Baddit Dikurindan gelar Aji Permaisuri.
• Aji Nikullam
• Aji Nikutak
• Aji Nigindang
• Aji Panjang Ruma
• Aji Tumanggung Barani.
Pada zaman pemerintahan raja Aji Tumanggung Barani ini, mulai diterapkan hukum islam. Didalam Undang-undang kerajaan yang bernama Pamatang Ammas (hukum pidana dan perdata) ditambah satu pasal “Pencuri dipotong tangannya”.
Menurut “Sejarah Sumatera Barat” yang diterbitkan Depdikbud 1978 halaman 49 bebunyi :“Raja Baginda yang membawa agama islam ke Kalimantan Utara dan Kepulauan Sulu dan mengembangkannya tahun 1390 M”.
• Aji Suraraja
• Aji Surga Balindung
• Aji Dilayas
• Aji Surga Balindung
• Aji Dilayas
3. Sengketa Pergantian Raja Berau Terbagi Tiga Kerajaan
Pada permulaan abad ke XVII pergantian raja secara teratur dari ayah kepada anak seperti yang terjadi 9 generasi terdahulu tidak terbagi lagi.
Masalahnya Aji Dilayas raja ke IX berputera dua orang Pangeran yang berlainan ibu yaitu Pangeran Tua dan Pangeran Dipati.
Sesudah Aji Dilayas mangkat kedua pangeran ini,masing-masing didukung keluarga ibunya bersikeras mau manjadi raja.
Akhirnya keputusan musyawarah kerajaan kedua pangeran dan seterusnya,keturunannya berganti-ganti menjadi raja. Pergantian raja secara bergiliran itu adalah sebagai berikut :
Oleh penulis sejarah tradisional tidak pernah dicantumkan masa tahun pemerintahan raja-raja itu.
• Giliran Pertama
Akhirnya keputusan musyawarah kerajaan kedua pangeran dan seterusnya,keturunannya berganti-ganti menjadi raja. Pergantian raja secara bergiliran itu adalah sebagai berikut :
Oleh penulis sejarah tradisional tidak pernah dicantumkan masa tahun pemerintahan raja-raja itu.
• Giliran Pertama
Pangeran Tua
• Giliran Kedua
• Giliran Kedua
saudaranya Pangeran Dipati
• Giliran Ketiga
• Giliran Ketiga
Sultan Aji Kuning anak Pangeran Dipati
• Giliran Keempat
• Giliran Keempat
Sultan Hasanuddin Marhum di Kuran anak dari Pangeran Tua.
• Giliran Kelima
• Giliran Kelima
Sultan Zainal Abidin kemenakan Sultan Aji Kuning turunan Pangeran Dipati. Menurut Kontler J.S. Krom dalam memorinya, kira-kira tahun 1720 pada pemerintahannya Sultan Zainal Abidin, menrapkan syariat islam di kerajaan Berau. Semasa hidupnya sangat dihormati rakyat. Makamnya dianggap keramat.
• Giliran Keenam
Sultan Badaruddin menjadi raja pihak keturunan Pangeran Tua melakukan protes, karena turunan Dipati sudah ongkar perjanjian. Mereka sudah empat kali mendapat giliran menjadi raja, sedang turunan Pangeran Tua baru dua kali. Insiden dapat diatasi, pihak keluarga Pangeran Dipati memberikan kompensasi, sesudah habis masa pemerintahan Sultan Badaruddin turunan Pangeran Tua memperoleh giliran 2 kali berturut-turut menjadi raja.
• Giliran Ketujuh
• Giliran Ketujuh
Sultan Salehuddin turunan Pangeran Tua.
• Giliran Kedelapan
• Giliran Kedelapan
Sultan Amirilmukminin bin Sultan Hasanuddin turunan Pangeran Tua.
• Giliran Kesembilan
• Giliran Kesembilan
Si Taddan Raja Tua atau Sultan Zainal Abidin II Putera tertua dari Sultan Badaruddin turunan dari Pangeran Dipati. Beberapa tahun ia memerintah, raja ini ditimpa penyakit cacar yang sangat parah. Ketika sembuh dari penyakitnya itu, ia berbicara seperti orang bisu sehingga perkataannya tidak dapat dipaham. Hasil kesepakatan orang tua-tua kerajaan, raja harus diganti. Pada waktu menentukan giliran siapa diantara turunan kedua pengeran itu akan menggantikan Si Taddan Raja Tua, terjadi kericuan.
Bulungan dan Tidung Memisahkan Diri Membentuk Kesultanan Sendiri
Karena terjadinya kericuan dan insiden pada waktu menetapkan giliran siapa yang harus menjadi raja dari kedua keturunan pangeran itu, kekuasaan pusat pemerintahan yang berkedudukan di Muara bangun hampir tiada berfungsi lagi.
Dalam situasi yang tidak menentu itu, daerah Bulungan dan Tidung berkesempatan melepaskan diri dari kesatuan wilayah kekuasaan Berau dan membentuk kesultanan sendiri pada tahun 1800.
Wilayah Inti Kerajaan Berau Terpecah Dua
Pemerintahan kerajaan Berau terpaksa harus pasrah kasus Bulungan dan Tidung, karena segala tenaga dan pikiran mereka dipusatkan untuk mengatasi kekacauan perebutan kekuasaan antara turunan Pangeran Tua dan Turunan Pangeran Dipati.
Gazi Mahyudin adik Sultan Zainal Abidin II bersikeras menggantikan kakaknya yang sakit-sakitan itu alasannya kakaknya baru beberapa tahun menjadi raja.
Raja Alam Putera Sultan Amiril Mukminin turunan Pangeran Tua, merasa lebih berhak mendapat giliran menjadi raja, alasannya turunan Pangeran Tua baru empat kali. Suasana semakin tegang, yang mengakibatkan terjadinya insiden di beberapa tempat. Musyawarah kerajaan dan kedua keluarga Pangeran, karena hampir setiap giliran yang akan menjadi raja, timbul persengketaan yang berbahaya bagi kelangsungan hidup kedua keluarga itu, dapat memutuskan lebih akan bermanfaat wilayah itu dibagi atas kesultanan.
Pertama :
Sebelah Utara Sungai Berau (Kuran) serta tanah kiri kanan sungai Segah menjadi Kerajaan Gunung Tabur diperintah oleh Sultan Gazi Mahyudin (Sultan Aji Kuning II).
Kedua :
Kedua :
Sebelah Selatan Sungai Berau (Kuran) dan tanah kiri kanan sungai Kelay menjadi Kerjaan Sambaliung di perintah oleh raja Alam (Sultan Alimuddin). Kedudukan Pemerintahan di Muara Bangun dipindahkan.
Sultan Aji Kuning memilih Gunung Tabur yang terletak di sebelah kanan muara cabang sungai Segah sebagai pusat pemerintahannya dan
Sultan Alimuddin Raja Alam memindahkan pusat pemerintahannya di kampong Gayam sebelah kanan masuk sungai Kelay, disebut Tanjoeng.
Sesuai dengan keputusan Seminar Hari Jadi Kota Tanjung Redeb tahun 1992 peristiwa itu terjadi pada tahun 1810, sepuluh tahun sesudah Bulungan dan Tidung memisahkan diri.
Sultan Raja Alam Alimuddin inilah sultan pertama dari Tanjung yang kemudian bernama kerajaan Sambaliung, sedang ayahnya Sultan Amiril Mukminin atau marhum di Rijang (sungai kecil dekat kampong Gurimbang) adalah raja giliran ke IX kerajaan Berau.
Gazi Mahyudin atau Sultan Aji Kuning II, sultan pertama dari kerajaan Gunung Tabur sedang kakaknya Raja Tua Si Taddan (Sultan Zainal Abidin II adalah Raja Berau giliran ke X.
Sultan Raja Alam Alimuddin inilah sultan pertama dari Tanjung yang kemudian bernama kerajaan Sambaliung, sedang ayahnya Sultan Amiril Mukminin atau marhum di Rijang (sungai kecil dekat kampong Gurimbang) adalah raja giliran ke IX kerajaan Berau.
Gazi Mahyudin atau Sultan Aji Kuning II, sultan pertama dari kerajaan Gunung Tabur sedang kakaknya Raja Tua Si Taddan (Sultan Zainal Abidin II adalah Raja Berau giliran ke X.
Setelah kerajaan Berau terbagi dua, kedua kesultanan itu hidup berdampingan secara damai, karena mereka sadar bahwa mereka berasal satu rumpun keluarga besar Aji Surya Nata Kesuma,
hanya penulis-penulis sejarah Belanda, membesar-besarkan perbedaan pendapat antara kedua kesultanan itu,
sesuai dengan politik adu domba demi suksesnya penjajahan mereka.
Hal ini terbukti pada peristiwa sejarah berikutnya.
SAMBALIUNG BERONTAK |
BANYAK alasan timbulnya perpecahan dalam kerajaan. Salah satunya kalau masuk pihak ketiga yang punya tujuan tertentu, sehingga melakukan penghasutan. Misalnya ketika Belanda datang untuk melakukan hubungan dagang dengan membeli hasil bumi kerajaan. Pada tahun 1817 Belanda memasuki Sungai Segah dan berlabuh di tengah sungai antara Sungai Segah dan Sungai Kelay, yaitu tempat berdirinya dua kerajaan Berau yang masing masing bernama Kerajaan Gunung Tabur dan Kerajaan Sambaliung. Kerajaan Gunung Tabur berada di tepi Sungai Segah, waktu itu rajanya Raja Kuning II, sedang Kerajaan Sambaliung berada di tepi Sungai Kelay, dirajai Raja Alam. Walau satu keturunan, kedua kerajaan ini tak pernah akur. Hal inilah yang sangat dikehendaki oleh Belanda. Saat itu hubungan dagang antara Belanda Sambaliung berjalan dengan lancar dan sangat menguntungkan. Berbagai hasil bumi terbaik seperti rotan dan damar dibeli dengan harga yang tinggi. Begitu pula dengan usaha barang barang keramik dari Cina dan eropa yang dibawa Belanda. Sedang dengan pihak Kerajaan Gunung Tabur, Belanda hanya membeli barang hasil ikutan, itupun dengan harga murah. Alasannya armada mereka terbatas untuk segera membawa barang ke negaranya. Namun demikian hubungan dengan pihak kerajaan Gunung Tabur berjalan cukup baik dan bersahabat pula. Selain itu berbagai kebutuhan ekonomi kerajaan Gunung Tabur merupakan tempatnya. Pihak Gunung Tabur dan Sambaliung yang tak pernah akur, akhirnya terlibat dalam satu pertikaian berdarah yang membawa mereka saling serang dan membunuh. Melihat keadaan demikian pihak Belanda merasa puas akan keberhasilan mereka melakukan politik adu domba dan pecah belah atas kedua kerajaan tersebut. Saling serang dan saling menghancurkan berjalan selama beberapa bulan dengan korban yang tak sedikit dari kedua belah pihak. Pada suatu ketika pihak Belanda heboh dengan sering terjadinya perampokan dan pembajakan atas kapal kapal dagang mereka di laut Selat Makasar dan Tanjung Mangkaliat. Namun secara diam-diam pihak Raja Kuning II atau Gunung Tabur memanfaatkan situasi dengan memberi informasi pada Belanda kalau perampokan tersebut dilakukan oleh orang-orang dari pihak Kerajaan Sambaliung. Tentu saja fitnah ini dilengkapi dengan bukti palsu akan keterlibatan Sambaliung. Pihak Belanda bukan tidak tahu kalau hal tersebut adalah cerita bohong dari Raja Kuning II. Kenapa tidak, sebenarnya kapal-kapal dagang Belanda tak pernah dirampok. Perampokan tersebut hanyalah karangan pihak Belanda saja yang ingin mengambil kesempatan pada situasi perang antar kedua kerajaan. Dengan dalih perampokan kapal dagang tersebut dilakukan oleh pihak Raja Alam Sambaliung, pihak Belanda lalu memberikan bantuan pasukan pada Raja Kuning II Gunung Tabur dan menggempur kerajaan Sambaliung. Pihak Sambaliung dengan gagah berani melakukan perlawanan yang dipimpin oleh Sarif Dakula, menantu Raja Alam dibantu oleh orang orang Bugis dan Solok. Kenapa orang orang Bugis dan Solok membantu Sambaliung dalam perang saudara tersebut. Ini karena isteri Raja Alam adalah orang asal Sulawesi Selatan keturunan bangsawan Wajo. Yang memang pada dasarnya tidak menyukai kehadiran Belanda di Tanah Berau. Tetapi walau sudah didukung oleh orang orang Bugis dan Solok, pihak Sambaliung kalah pengalaman dan senjata melawan orang orang Gunung Tabur terlebih karena dibantu Belanda yang bersenjata api. Raja Alam dan pasukannya akhirnya mundur ke pedalaman. Tetapi dengan liciknya Belanda melakukan penyanderaan pada anak isteri Raja Alam dan melakukan penangkapan kepada keluarga para bangsawan yang telah tua-tua. Dengan ancaman pembantaian terhadap para keluarga bangsawan Sambaliung, akhirnya Raja Alam dan menantunya Sarif Dakula mau datang ke Sambaliung untuk melakukan perundingan sebagaimana permintaan pihak Belanda. Raja Alam dan Sarif Dakula hanya datang berdua tanpa ada yang mengawal. Sedang pasukannya masih menunggu di hutan hutan rimba sungai Kelay. Ternyata Raja Alam dan Sarif Dakula, bukannya diajak berunding. Keduanya ditangkap dan dimasukkan kedalam tahanan Belanda dengan penjagaan ketat berlapis-lapis. Waktu itu tahun 1834 dimana Raja Alam dan menantunya Sarif Dakula oleh pengadilan Belanda diputuskan dibuang ke Makasar. Secara diam diam keduanya lewat tengah malam dibawa dengan sebuah kapal kecil menuju muara dimana telah menunggu sebuah kapal perang yang akan membawa kedua tawanan ini ke Makasar. Namun belum lagi sampai ke muara, kedua tawanan ini berontak dan melakukan perlawanan pada para pengawal yang membawanya. Dalam perkelahian yang tak seimbang itu, Raja Alam akhirnya dapat dilumpuhkan. Sedang Sarif Dakula menantunya tewas tertembak pasukan yang membawanya. Namun walau demikian, pihak Belanda sempat pula kehilangan tiga nyawa serdadunya. Raja Alam pun terus dibawa dan dibuang ke Makassar Sulawesi Selatan, yang juga merupakan markas besar Belanda untuk Indonesia Tengah dan Timur. Usai mengalahkan Sambaliung dan membuang Raja Alam, Kekuatan Gunung Tabur yang juga dalam keadaan lemah dimamfaatkan Belanda. Entah dengan cara apa Raja Kuning II Gunung Tabur dapat dikuasai dan menyatakan tunduk di bawah perintah Kerajaan Belanda. Beberapa bangsawan yang tak setuju dengan putusan tersebut secara terpisah melarikan diri ke berbagai daerah, bahkan ada yang sampai bersuaka di kerajaan Sabah Malaysia. Setelah sekian tahun, Raja Kuning II Gunung Tabur akhirnya sadar kalau selama ini mereka secara halus telah dikuasai oleh Belanda. Namun karena kekuatan dan kekuasaan Belanda sudah tak tertandingi, Raja Kuning II tak mampu berbuat apa apa. Karenanya untuk menjaga agar kerajaan tetap utuh, hubungan dengan pihak Belanda tetap dijaga dengan segala kepatuhan yang dibuat oleh pihak Belanda. Suatu ketika Raja Kuning II setelah melakukan perundingan dengan keluarga baik bangsawan Gunung Tabur maupun sisa-sisa bangsawan Sambaliung yang pada dasarnya masih satu keturunan, diputuskan untuk mengembalikan Raja Alam ke Sambaliung dengan pengajukan permohonan pada pihak Belanda. Menanggapi permohonan ini pihak Belanda lagi-lagi mengambil keuntungan. Dengan dalih keamanan bersama, maka kedua kerajaan tidak dibenarkan menghimpun atau memiliki laskar. Keduanya hanya boleh merekrut penjaga keamanan lingkungan keraton dengan tidak lebih dari lima puluh orang. Selebihnya masalah keamanan wilayah berada di tangan Belanda. Oleh pihak Belanda permohonan tersebut dikabulkan dan pada tanggal 24 September 1837 Raja Alam kembali ke Sambaliung bersama pengiringnya. Pertemuan dua keluarga Gunung Tabur dan Sambaliung ini terjalin kembali. Kemudian atas persetujuan Belanda kedua kerajaan tetap saja berdiri sebagaimana asal mula mereka. Namun tentu saja harus berada dibawah kekuasaan dan peraturan yang diberlakukan oleh pihak Belanda. Sumber : http://www.bongkar.co.id/khas-kaltim/cerita-khas-johansya-balham/850-sambaliung-berontak.html |
2 komentar:
Raja Alam itu gelarnya jadi bukan "SULTAN RAJA ALAM ALIMUDDIN" YANG BENAR "SULTAN ALIMUDDIN" GUNUNG TABUR JUGA MUSEUMNYA ITU BUKAN KERATON GUNUNG TABUR TAPI "MUSEUM BATIWAKKAL" karena keraton gunung tabur sudah hancur rata dengan tanah terkena gempuran penjajah tanpa sisa.
BERARTI ISINYA HOAX SEMUA.
INI HARUSNYA DITINDAKLANJUTI UNTUK TIDAK DI SEBARLUASKAN.
Posting Komentar